Lontar sebagai bahan naskhah Lontar

Contoh gambar lontar dari Nepal.Contoh gambar lontar bersungging (bergambar) dari Bali dan disebut sebagai prasi.Contoh gambar lontar Sunda Kuno. Kawih Pangeuyeukan.

Lontar sebagai bahan naskhah dipakai di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Nusantara banyak ditemukan naskhah lontar dari Sunda (Jawa Barat), Jawa, Bali, Madura, Lombok, dan Sulawesi Selatan.

Proses pembuatan

Di pulau Bali, daun-daun lontar sebagai alat tulis masih dibuat sampai sekarang. Pertama-tama daun-daun pohon siwalan dipetik dari pohon. Pemetikan biasa dilakukan pada bulan Maret/April atau September/Oktober karena daun-daun pada masa ini sudah tua. Kemudian daun-daun dipotong secara kasar dan dijemur menggunakan panas matahari. Proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan.

Lalu daun-daun direndam di dalam air yang mengalir selama beberapa hari dan kemudian digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa.

Setelah daun-daun dijemur kembali, tetapi sekarang daun-daun sudahkadangkalanya tersedia dipotong dan diikat, lalu lidinya juga dipotong dan dibuang.

Setelah kering daun-daun lalu direbus dalam sebuah kuali besar dicampur dengan beberapa ramuan. Tujuannya ialah membersihkan daun-daun dari sisa kotoran dan melestarikan struktur daun supaya tetap bagus.

Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun-daun diangkat dan dijemur kembali di atas tanah. Lalu pada petang hari daun-daun diambil dan tanah di bawah dedaunan dibasahi dengan air kemudian daun-daun ditaruh kembali supaya lembap dan menjadi lurus. Lalu keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan sebuah lap.

Lalu daun-daun ditumbuk dan ditekan pada sebuah alat yang di Bali disebut sebagai pamlagbagan. Alat ini merupakan penyepit kayu yang berukuran sangat besar. Daun-daun ini ditekan selama kurang lebih enam bulan, namun akan juga diangkat dan dibersihkan setiap dua minggu.

Setelah itu daun-daun dipotong lagi sesuai ukuran yang diminta dan diberi tiga lubang: di hujung kiri, tengah, dan hujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke hujung kiri harus lebih pendek daripada ke hujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda pada saat penulisan nanti.

Tepi-tepi lontar juga dicat, biasanya dengan cat warna merah. Lontar sekarang siap ditulisi dan disebut dengan istilah pepesan dalam bahasa Bali dan sebuah lembar lontar disebut sebagai lempir.

Proses penulisan lontar

Fail:Lempir kosong.jpgLembaran lontar yang masih kosong.

Setiap lempir lontar yang akan ditulisi, biasanya diberi garis dahulu supaya nanti kalau menulis tidak mencong-mencong. Hal ini dilakukan dengan menggunakan sebuah alat yang disebut panyipatan. Tali-tali kecil direntangkan pada dua paku bambu. Lalu dibawahnya ditaruh lempir-lempir lontar. Tali-tali ini lalu diberi tinta dan ditarik. Rentangan tali yang ditarik tadi lalu terpental dan mencipratkan tinta ke lempiran lontar sehingga terbentuk garis-garis.

Fail:Pisau-pengropak.jpgPisau untuk menulisi lontar.

Lalu lontar yang sudah siap ditulisi ditulisi menggunakan pisau tulis yang di Bali disebut pengropak atau pengutik. Di Jawa Barat dalam bahasa Sunda disebut dengan istilah péso pangot. Penulis sebenarnya mengukir aksara pada lempir-lempir lontar ini. Setelah selesai ditulis sebuah lempir, biasanya pada kedua sisi, maka lempir harus dihitamkan. Cara menghitamkan dilakukan dengan menggunakan buah kemiri yang dibakar sampai mengeluarkan minyak. Lalu kemiri-kemiri ini diusapkan pada lempir dan ukiran aksara-aksara tadi jadi terlihat tajam kerana jelaga kemiri. Minyak kemiri sekaligus juga menghilangkan tinta-tinta garisan. Lalu setiap lempir dibersihkan dengan lap dan kadang kala dioles dengan minyak sereh supaya bersih dan tidak dimakan serangga.

Lalu tumpukan lempir-lempir ini disatukan dengan sebuah tali melalui lubang tengah dan diapit dengan sepasang pengapit yang di Bali disebut sebagai cakepan. Namun kadang kala lempir-lempir disimpan dalam sebuah peti kecil yang disebut dengan nama kropak di Bali (di Jawa kropak artinya adalah naskhah lontar).